Nasional • 3 months ago
Dukungan debat di kampus bagi para bakal calon presiden pasca putusan Mahkamah Konstitusi mengalir dari berbagai kalangan. Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia adalah kampus pertama yang menantang para bacapres, yakni Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, dan Prabowo Subianto untuk berdebat di Kampus Perjuangan.
Selanjutnya, kampus-kampus ternama di Tanah Air berminat untuk menggelar debat bacapres atau capres setelah mereka mendaftar di Komisi Pemilihan Umum pada Oktober mendatang.
KPU tidak mempersoalkan para bacapres hadir di kampus, karena status mereka saat ini bukan adalah warga biasa alias belum capres sehingga mereka bebas menemui siapa saja, termasuk menemui civitas akademika.
Debat bacapres di kampus adalah ruang bagi para calon pemimpin bangsa untuk beradu gagasan. KPU harus segera menyusun aturan mainnya sehingga debat capres di kampus setelah mereka resmi mendaftar berlangsung tertib dan sesuai ketentuan yang berlaku.
Debat capres di kampus adalah angin segar di tengah dinamika pencapresan saat ini yang masih didominasi oleh gimik politik, pencitraan alias sesuatu yang tidak bersifat utama yang digunakan para capres untuk menarik perhatian. Para kandidat tebar pesona di sana-sini, dengan tampilan bersahaja menyapa rakyat, di perkampungan kumuh perkotaan hingga di perdesaan. Mereka berdalih menyerap aspirasi masyarakat namun mereka lupa menawarkan gagasan untuk penyelesaian masalahnya.
Sah-sah saja gimik digunakan sebagai salah satu cara memasarkan diri demi popularitas. Namun jika dilakukan terus menerus tanpa masuk ke ranah substansi, jangan salahkan rakyat jika akhirnya masyarakat bosan. Akhirnya muncul kembali anekdot usang 'Siapa pun yang terpilih, bakal sama saja, nasib rakyat enggak akan berubah'.
Balik ke ide adu gagasan dari mahasiswa tadi, masyarakat yang kini semakin melek politik tentunya sudah sangat menantikan. Semua menunggu, siapa capres yang punya ide brilian, bukan bualan. Di hadapan civitas akademis, ide para capres akan dibedah secara empiris sehingga teruji dapat-tidaknya ide itu direalisasikan dalam masa lima tahun kepemimpinan pasca Pemilu 2024.
Mulai dari persoalan hukum yang bisa diatur sesuai selera, korupsi yang makin menjadi-jadi, perekonomian yang hanya dinikmati segelintir orang, biaya pendidikan dan kesehatan yang makin sulit dijangkau, sampai ke persoalan sosial masyarakat misalnya isu LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender) dan keberagaman.
Dari debat kampus, dapat terlihat gamblang kualitas para capres, siapa yang baru punya ide dan siapa yang sudah siap menjalankannya. Siapa pula capres yang sekadar gagah-gagahan tetapi bak pepatah “tong kosong nyaring bunyinya”.
Perdebatan di kampus adalah budaya akademik yang harus ditumbuhkembangkan di perguruan tinggi. Dari sisi mahasiswa juga harus bersiap melontarkan pertanyaan atau tanggapan berkualitas, dengan argumentasi dan data yang valid.
Bukan menonjolkan emosi. Forum perdebatan para capres di kampus ini sekaligus mengklarifikasi secara terbuka isu-isu yang terkait para kandidat capres yang kini. Para mahasiswa ini adalah bagian dari 52% pemilih muda yang akan berpartisipasi dalam Pemilu 2024. Ayo, tunggu apalagi, mari berdebat di kampus!