Nasional • 4 months ago
Mahkamah Agung (MA) meringankan vonis mati mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri Ferdy Sambo menjadi pidana penjara seumur hidup.
"Amar putusan kasasi, tolak kasasi penuntut umum dan terdakwa dengan perbaikan kualifikasi tindak pidana dan pidana yang dijatuhkan menjadi melakukan pembunuhan berencana secara bersama-sama, dan tanpa hak melakukan tindakan yang berakibat sistem elektronik tidak bekerja sebagaimana mestinya yang dilakukan secara bersama-sama," ucap Kepala Biro Hukum dan Humas MA, Sobandi, Selasa (9/8) lalu.
Putusan itu sendiri tak bulat. Dari lima hakim agung yang menangani perkara tersebut, yaitu Suhadi, Suharto, Jupriyadi, Desnayeti, dan Yohanes Priyana, Jupriyadi dan Desnayeti berpendapat Sambo tetap mesti divonis hukuman mati sebagaimana vonis di tingkat pengadilan negeri dan pengadilan tinggi. Namun, keduanya kalah suara dalam musyawarah para hakim itu.
Terlepas dari adanya dua hakim agung yang tetap memandang hukuman mati adalah vonis yang setimpal atas kejahatan yang telah dibuat Sambo, bunyi amar putusan yang dibacakan Sobandi itu meninggalkan tanda tanya di benak publik. Dari amar putusan kasasi, majelis hakim menolak permohonan kasasi yang diajukan jaksa dan terdakwa. Di amar itu pula, hakim memperbaiki kualifikasi tindak pidana dan pidana yang dijatuhkan.
Menjadi tanda tanya karena putusan seperti itu di luar logika hukum. Mestinya, hakim menerima dulu kasasi yang diajukan, lalu mengadili sendiri. Dari situ kemudian lahir MA memperbaiki putusan sebelumnya.
Jadi sungguh aneh jika MA menolak kasasi yang diajukan terdakwa dan penuntut umum, tapi kemudian memperbaikinya.
Pasal 253 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sejatinya telah menetapkan batasan kewenangan MA. Para hakim agung itu bertugas memeriksa apakah penerapan hukum di pengadilan sebelumnya telah diberlakukan dengan benar atau tidak. Hakim agung juga ditugaskan meneliti apakah cara mengadili telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan undang-undang atau tidak. Dan, terakhir, menentukan apakah pengadilan telah melampaui batas wewenangnya atau tidak.
Jika dari pemeriksaan itu para hakim agung menilai ada ketidaksesuaian penerapan pasal, atau cara mengadili tak sesuai UU, atau pengadilan sebelumnya dinilai tak kompeten, sebagai penjaga benteng terakhir keadilan MA bisa mengadili sendiri. Namun, hal itu harus didahului oleh sikap para hakim yang menerima kasasi.
Dalam menangani kasus itu, perlakuan yang sama juga dilakukan para hakim agung terhadap Putri Candrawathi, Ricky Rizal, dan Kuat Ma'ruf. MA menolak kasasi, tapi memperbaiki kualifikasi tindak pidana dan pidana yang dilakukan.
Mereka menyunat masa hukuman Putri Candrawathi dari 20 tahun penjara menjadi 10 tahun penjara, Ricky Rizal dari 13 tahun penjara menjadi 8 tahun penjara, dan Kuat Ma'ruf dari 15 tahun penjara menjadi 10 tahun penjara.
Dalam Buku Laporan Tahunan Mahkamah Agung pada 2022, MA menyatakan putusan tolak dengan perbaikan menunjukkan benteng terakhir keadilan itu menganggap tidak ada alasan untuk membatalkan putusan yang diajukan kasasi sebagaimana dimaksud Pasal 30 UU No 14/1985 tentang Mahkamah Agung, tetapi ada amar tertentu dari putusan tersebut yang perlu diperbaiki.
Sebagai catatan, sepanjang 2022, MA telah mengeluarkan putusan mengubah sebanyak 4.617 putusan pengadilan negeri atau pengadilan tinggi yang telah ditetapkan sebelumnya. MA mengatakan amar menolak permohonan kasasi dengan perbaikan akan berimplikasi pada putusan pengadilan tingkat banding yang diajukan kasasi berlaku sebagai putusan yang berkekuatan hukum tetap. Putusan berlaku kecuali terhadap amar yang diperbaiki oleh Mahkamah Agung. Saat menjatuhkan vonis seperti itu, para hakim agung itu pasti paham putusan mereka akan membuat jaksa tak berkutik setelah Mahkamah Konstitusi menghapus wewenang jaksa mengajukan peninjauan kembali. Menurut MK, hanya terdakwa dan ahli warisnya yang boleh mengajukan permohonan peninjauan kembali.
Meski tak puas, masyarakat hanya bisa menjadi penonton. Keadilan limbung di tangah hakim agung.