Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji materi UU Pernikahan yang meminta untuk melegalkan pernikahan beda agama di Indonesia. Namun, faktanya masih ada pasangan yang memutuskan untuk tetap menikah beda agama.
Sebelumnya, warga Mapia Tengah, Dogiyaim, Papua, E Ramos Petege mengajukan judicial review Pasal 2 Ayat (1) UU No 1 Tahun 1974 perihal pernikahan beda agama. Hal itu terjadi lantaran ia yang beragama Katolik gagal menikahi sang kekasih yang beragama Islam.
Adapun materi yang diujikan Ramos, yaitu Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 8 Huruf F UU Perkawinan. Menurutnya, ketentuan yang diujikan itu bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) serta Pasal 29 Ayat (1) dan Ayat (2) UUD 1945.
Pasal 2 Ayat (1) UU Perkawinan menyatakan, "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu".
Lalu, Pasal 2 Ayat (2) UU Perkawinan menyatakan, "Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku".
Sedangkan, Pasal 8 Huruf F UU Perkawinan menyatakan, "Perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin".
Sementara itu, berdasarkan data yang dihimpun sejak 2005-2022, Indonesian Conference On Religion & Peace (ICRP) mencatat ada 1.425 pasangan beda agama menikah.
Seperti, PN Jaksel mengabulkan permohonan pernikahan beda agama DRS (Katolik) dan JN (Islam) pada Juni 2022 dan meminta Disdukcapil menerbitkan akta perkawinan. Selanjutnya, izin untuk RA (Islam) dan EDS (Kristen) dari PN Surabaya dan izin untuk AT (Katolik) dan A (Kristen) dari Jakarta Timur.
Selain itu, Hakim Halomoan Ervins Frans Sihaloho dari PN Jakarta Timur berpendapat bahwa nikah beda agama sah sehingga sah pula pencatatannya. Sementara Hakim Arlandi Triyogo dari PN Jaksel berpendapat, bahwa perkawinan beda agama tidak sah, sebab bertentangan dengan UU Perkawinan. Namun, ia setuju dan mengizinkan pencatatan nikah beda agama di Dukcapil.