Askariasis merupakan suatu jenis infeksi yang disebabkan oleh cacing gelang (ascaris lumbricoides). Jenis cacing ini dapat berkembang biak di dalam tubuh dan menginfeksi berbagai organ hingga menimbulkan komplikasi.
“Penyakit ini menjadi salah satu infeksi cacing yang paling marak terjadi di Indonesia, khususnya pada anak-anak. Askariasis memang mayoritas ditemui di negara tropis dan subtropis, terutama area dengan sanitasi yang buruk,” kata Dokter Spesialis Anak RSUD Dr. Moewardi Husnia Auliyatul Umma pada live Instagram RSUD Dr. Moewardi, Kamis (25/5).
Askariasis dapat dikategorikan sebagai infeksi yang sulit dideteksi. Hal ini karena pada tahap awal infeksi ini hanya menimbulkan gejala ringan, bahkan tidak menutup kemungkinan pasien tidak merasakan gejala apapun.
“Biasa penderita baru sadar terkena infeksi ini jika jumlah cacing dalam tubuh sudah berkembang biak menjadi banyak dan besar. Kalau di awal-awal biasanya tanpa gejala sama sekali,” ujar Husnia. Namun jika sudah bergejala serius justru menunjukkan telah terjadi infeksi yang berat.
Husnia menjelaskan, gejala askariasis berbeda-beda karena bergantung pada siklus hidup cacing. Perlu diketahui bahwa cacing gelang masuk ke dalam tubuh dalam bentuk telur. “Nanti telur cacing akan menetas di usus menjadi larva. Nah, larva itu bisa berjalan-jalan sederhananya, bisa menuju ke paru-paru pasien,” kata Husnia.
Setelah menetap di paru-paru selama 10 hingga 14 hari, larva akan berpindah ke tenggorokan. “Pada tahap ini, tubuh akan berusaha mengeluarkan larva dari tenggorokkan. Jika berhasil keluar maka batuk akan mengeluarkan larva, namun jika tidak berarti larva tersebut kembali masuk ke saluran cerna, tumbuh menjadi cacing dewasa, dan berkembang biak,” ujar Husnia.
“Jadi gejala tergantung cacing itu lagi jalan-jalan ke mana. Kalau lagi di paru-paru maka pasien ada gejala batuk, bahkan batuk darah hingga sesak nafas. Kerap kali jika di rontgen gambar paru-paru pasien askariasis mirip seperti pneumonia,” lanjutnya. Apabila cacing sudah dewasa, Husnia menyatakan, pasien akan menderita gejala saluran pencernaan seperti muntah, tidak dapat buang air, perut anak terasa penuh dan berisiko mengalami gangguan penyerapan makanan.
Terkait pengobatan juga akan berbeda-beda mengikuti gejala pasien. “Periksa sedini mungkin, kalau ada gejala umum apapun ke rumah sakit supaya dicek apakah memang hanya batuk atau sakit perut misalnya, atau ternyata karena cacing,” ujar Husnia.
Ini karena, jika dibiarkan askariasis tidak dapat sembuh dengan sendirinya. Menurut Husnia, sekalipun bisa sembuh, tidak menutup kemungkin terjadi reinfeksi berulang. “Balik lagi sembuh atau tidak tergantung daya tahan pasien, tapi kalau tidak diobati dari sebelumnya tidak ada gejala menjadi bergejala. Akhirnya semakin banyak cacing, tubuh tidak bisa menetralisir infeksi tersebut dan berujung terjadinya komplikasi dan berisiko terjadi sampai dewasa,” kata Husnia.
Kabar baiknya, askariasis dapat dicegah. Mengingat penyebab askariasis adalah faktor sanitasi, maka hal utama untuk mencegah terinfeksi cacing ini adalah dengan mengingkatkan sanitasi diri dan lingkungan.
Selain itu, Husnia juga mengingatkan agar orang tua mengikuti program pemberian obat cacing berkala yang diselenggarakan oleh pemerintah. “Orang tua mohon mendukung program pemerintah yang memberikan obat cacing massal. Program ini ditujukan pada anak usia 1 hingga 12 tahun yang diberi obat cacing berkala setiap 6 bulan sekali. Jadi, jika mendapat obat harus diminumkan kepada anaknya,” tutupnya.