Tensi hubungan antara poros Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya yang dimotori Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dengan poros pengusung Ganjar Pranowo yang dikomandani Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan makin panas. Aksi saling tuding dan serang tidak terelakan oleh kedua kubu.
Perseteruan makin runyam karena Presiden Joko Widodo yang merupakan Petugas Partai dari PDIP justru dianggap lebih condong ke Prabowo. Bahkan ditengarai hubungan Jokowi dan PDIP pun mulai renggang. Potensi keretakan lebih besar diproyeksi bakal terjadi.
Keretakan itu terlihat jelas ketika Partai Golkar dan PAN mendeklarasikan dukungan ke Prabowo. Dukungan kedua partai pendukung pemerintah itu dinilai PDIP sebagai bentuk cawe-cawe Jokowi. Lalu diikuti dengan sinyal kemarahan PDIP dengan tidak mengundang anak Jokowi Gibran Rakabuming Raka dalam konsolidasi Partai.
Bahkan kritik pedas PDIP terkait dengan proyek food estate tidak bisa dilepaskan dari konteks perseteruan dua kubu ini. PDIP yang merupakan partai berkuasa saat ini, tidak mampu menyembunyikan kekecewaannya dengan kritik frontal terhadap program pemerintah. Kritik partai banteng soal proyek lumbung pangan di Kalimantan Tengah itu juga menyasar Prabowo sebagai komandan proyek food estate.
Yang teranyar aksi membelot Politikus PDIP Budiman Sudjatmiko ke Prabowo yang makin membuat PDIP naik pitam dengan mengkritik habis poros pengusung Prabowo. Tudingan PDIP bahwa Prabowo melakukan pembajakan mendapatkan reaksi keras dari poros KKIR.
Dua poros koalisi ini seakan hanya sibuk untuk mengumpulkan dan menjaring kekuatan elite. Saling serobot dukungan dari partai koalisi, termasuk membajak dukungan menjadi panggung elite yang kental dengan nasfu kekuasaan semata.
Sekali lagi dalam manuver politik semacam ini, rakyat perannya dikerdilkan hanya sebagai objek politik. Padahal rakyatlah pemilik kedaulatan sejati atas negara yang kita cintai ini.
Elite hanya menganggap pemegang kedaulatan ini sebagai objek pemilu yang mesti digiring pilihannya. Rakyat sebagai pemilih hanya dipandang bak komoditas demi mencapai kekuasaan.
Semestinya dalam momentum pesta demokrasi, pendidikan politik bagi rakyat yang utama. Elite lebih baik turun ke tengah-tengah rakyat, bukan sibuk berseteru di atas. Menyapa rakyat untuk memahami persoalan dan mendapatkan kepercayaan.
Kesibukan bertengkar para elite ini seakan menegaskan telah terjadinya reduksi atas demokrasi. Yakni bukan demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, melainkan dari rakyat, oleh elit, dan untuk elite.
Rakyat hanya dipertontonkan atraksi para elite politik yang sibuk bertengkar dalam upaya mengejar kekuasaan. Mereka lupa untuk mendengarkan aspirasi para pemilik kedaulatan.
Akan lebih baik, jika mereka hadir mengunjungi rakyat di pelosok-pelosok negeri. Atau setidaknya mengisi ruang publik dengan adu gagasan dan program, jangan malah menyesaki dengan perseteruan yang sekedar berorientasi pada politik kekuasaan.
Tentu apresiasi setingi-tingginya bagi mereka yang lebih memilih mendatangi rakyat, konsisten menggelorakan gagasan bernas untuk mensejahterakan rakyat, daripada sekedar beradu narasi dan aksi di panggung elite kekuasaan.
Karena rakyatlah sejatinya pemilik kedaulatan, pemilik mandat yang akan dipercayakan kepada pemimpin mendatang.